"Sang Firman Konawe"
Waktu Tidak Akan Pernah Mundur dan Berulang. Setiap Detik Selalu Menyebabkan Perubahan. Satu Hal yang Abadi di Muka Bumi ini yaitu Perubahan. Maju itu Pilhan Mundur itu juga Pilihan, tapi Hilang Menuju Perubahan ialah Kepastian, Muda Menjadi Tua Misalnya. Jangan Pernah Takut Untuk Menjadi Hitam ataupun Putih dan Jangan Pernah Takut Untuk Kehilangan Warna Jika itu Memang Pilihan Kebaikan.
Jumat, 25 Januari 2013
Jadilah Bos di Usia Muda
Jumat, 07 September 2012
Makassar Susul Jakarta Jadi Lahapan Si Jago Merah
Sabtu, 21 Juli 2012
Memilih Pensiun Dini di BI
Jumat, 20 April 2012
Jadi Mahasiswa Rantau di Kota Berbekal Silat Kampung
Ketika mulai terdengar ayam berkokok mengakhiri keheningan malam, suara yang mengisyaratkan beberapa saat lagi cahaya matahari akan segera bersinar, hingga kemudian ayam itu kembali naik bertengger di dahan pohon bersamaan senja yang hendak berlalu, kehidupan perkotaan dengan penuh hiruk pikuk perilaku dan interaksi sosial tanpa hentinya, ditambah lagi dunia gemerlapnya pada malam hari, mengharuskan diri untuk selalu berhati-hati di setiap langkah.
Kembali teringat wejangan dari ayah saat kecil dulu, bahwa untuk hidup dalam dinamika sosial, dimanapun itu harus punya bekal bertahan hidup yang bermanfaat ketika di ujung tanduk, bekal yang mampu menyelamatkan diri dari usikan orang berniat jahat. Mungkin itulah salah satu alasan mendasar ayah mengajarkan silat kampung yang ceritanya dari mendiang ayahnya juga (almarhum kakek saya). Saat masa kolonialisme Belanda, lanjut cerita ayah, almarhum kakek ikut berjuang merebut kemerdekaan, melawan penjajah dengan menggunakan silat kampung.
Ilmu bela diri yang diwariskan almarhum kakek, digunakan ayah dalam perantauannya hingga merndapatkan pekerjaan dan menikah dengan ibu saya. Seorang Ayah yang sejak lulus SMA meninggalkan kampung halamannya mengadu nasib di perkotaan, tentunya lika-liku kehidupan kota telah banyak dilewatinya. Pengalaman pribadi ayah merupakan pelajaran yang sangat berharga beliau menyebabkan semangatnya mengajarkanku silat kampung tak pernah surut, walaupun tempatnya hanya di rumah.
Tidak berhenti sampai disitu usaha beliau untuk mengajarkan saya ilmu bela diri, ketika terbuka Perguruan Silat Kampung, beliau langsung mendaftarkan sebagai anggota untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) karena waktu itu saya masih SD. Meskipun pada saat itu saya menolak untuk masuk dengan alasan lebih baik belajar di rumah saja, karna malu nanti diejekin oleh teman sekolah, namun sebagai seorang ayah beliau merasa anak laki-lakinya harus punya ilmu bela diri, dengan meyakinkanku bahwa kelak ketika lulus SMA saya akan melanjutkan kuliah dan itu di luar daerah, dengan alasan itulah hingga akhirnya saya luluh juga saat itu untuk masuk Perguruan Silat Kampung.
Setelah beberapa bulan ikut dalam Perguruan Silat Kampung itu, tentunya banyak jurus-jurus baru yang diajarkan, geraknya yang lincah dan gesit namun juga terlihat agak lucu menjadikan suasana latihan menjadi semakin seru. Yang membuat semua orang terbahak-bahak saat itu, ketiak sang guru sering mempraktekan jurus baru dengan memegang piring sehingga sang guru terilhat seperti penari piring. Tapi gerakan sang guru begitu cepat sehingga piring yang berada di tangganya, yang disusun berlapis-lapis tidak terlempar jatuh walaupun tangannya digerak-gerakan.
Perguruan Silat Kampung ini banyak mengajarkanku tentang kehidupan diantaranya adalah sifat sabar, sabar mengendalikan sifat emosional agar tidak mudah marah pada orang lain. Di perguruan waktu itu, setiap anggota saling menunjukan kehebatannya dalam latihan duel. Yang kalah akan mendapat ejekan dari teman-teman dan mendapatkan hukuman membersikan juga mencuci piring. Namun hukuman tersebut membangun semangat untuk lebih baik lagi kedepannya.
Perguruan Silat Kampung ini tidak mengajarkan seseorang untuk jago dalam hal perkelahian, namun bertujuan menghidupkan kembali budaya yang telah diwariskan oleh leluhur kami. Budaya yang telah lama ditinggalkan semenjak pasca kemerdekaan. Antusias warga saat itupun sangat mendukung dilestarikannya kebiasaan yang dulu dimiliki nenek moyang kami, dengan mengikutsertakan salah seorang anggota keluarganya dalam silat kampung ini.
Hingga pada saat perayaan 17-san (HUT RI) yang diadakan kepala desa, perguruan kami pun di ikutkan untuk meramaikan pangung acara. Berlaga di atas panggung yang ditonton banyak warga desa merupakan hal yang langkah terjadi, olehnya itu kesalahan-kesalahan diminimalisir dengan latihan rutin menjelang hari H acara. Untuk pertama kalinya tampil di depan umum disaksikan ratusan pasang mata, menjadikan momen itu sebagai pengalaman dan pembelajaran dalam melatih mental yang sangat bermanfaat mencegah penyakit demam panggung sampai sekarang ini.
Bekal silat kampung yang didapatkan saat kecil kecil dulu, kini banyak membantu dalam menjalani peran sebagai seorang mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Kota Makassar. Terlatihnya mental dan sikap percaya diri walaupun mendaptkan ejekan membuat diri untuk tidak takut salah dalam keadaan apapun. Dalam kelas perkuliahan misalnya, untuk berani mengajukan argumentasi pada dosen dan teman harus didukung dengan mental dan sikap percaya diri, agar apa yang disampaikan mampu dipahami oleh orang lain.
Diluar perkuliahan, masuk di komuntas dan organisasi kemahasiswaan tertentu menjadi aktivitas yang menyenangkan, wadah yang melatih kecerdasan emosianal ini sedikit banyaknya mirip dengan yang ada di perguruan. Melalui banyak komunikasi dan interaksi pada teman seperguruan yang berbeda karakter menjadikan diri mampu memahami orang lain. Sehingga dalam berorganisasi masalah-masalah yang kemudian muncul, yang dapat berujung pada kontak fisik, mampu terselesaikan dengan damai.
Sebagai mahasiswa rantau yang jauh dari orang tua dan keluarga, hidup dalam kemandirian jika tidak memperbanyak teman akan terasa semakin menyulitkan, aktivitas perkotaan yang hari demi hari dihabiskan dengan kerja membuat seseorang menjadi individualis, kurang peduli dengan apa yang terjadidi lingkungan sekitarnya sendiri. Padahal hidup sebagai makhluk sosial memperbanyak relasi merupakan salah satu jalan mencapai sukses.
Sementara saat di perguruan dulu sang guru selalu mengatakan untuk selalu peduli pada teman duel dalam latihan, pukulan dan tendangan tidak boleh berlebihan hanya karena egois memenangkan pertandingan. Sang guru pun berpesan jika nanti diluar latihan terlibat duel sungguhan, maka sebisa mungkin mengetahui mana lawan mana kawan kemudian mengubah lawanmu itu menjadi kawanmu.
Ketika menjadi mahasiswa di kota Makassar bertemu dengan wajah dan karakter yang berasal dari berbagai daerah, sifat sabar yang diajarkan pada Perguruan Silat Kampung dulu tergunakan pada koridor pergaulan yang damai. Jika tidak memiliki sifat sabar status mahasiswa yang semestinya berfungsi memperjuangkan hak-hak rakyat, bisa jadih akan berganti dengan julukan ‘preman kampus’ dengan aktivitas banyak merugikan orang lain.
Peran seorang mahasiswa sebagai control sosial yang menyampaikan aspirasi melalui aksi unjuk rasa sangat sering berakhir dengan bentrok. Korban mahasiswa karena aksi demonstrasi telah banyak tertulis dalam sejarah pergerakan mahasiswa, diantaranya tragedi Trisakti. Peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka.
Dalam situasi ini mahasiswa yang awalnya benar-benar ingin mengawal kebijakan Negara melalui parlemen jalanan banyak menjadi korban, beruntunglah mahasiswa yang mempunyai bekal ilmu bela diri, bekal yang dapat digunakan agar tidak menjadi korban kekerasan dilapangan.
Benar kata ayah dulu bahwa kehidupan kota itu penuh dengan tantangan yang berlika-liku. Ketika di pagi hari seseorang menjadi orang baik, dan di sore harinya tak ada yang menjamin seseorang itu masih tetap menjadi orang yang baik pula.
Selasa, 09 Maret 2010
2012
Saat kecil dulu, mendegar kata “Sekolah“ pertama kalinya sangat menggembirakan hati, tersirat segudang cita-cita serta harapan agar mampu menjalaninya sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Kala itu, tak pernah terbayangkan batapa berlikunya jalan menuju harapan tersebut, yang terpikirkan hanyalah belajar dan terus belajar, sesuai perkataan orang tua
Status sosial dianggap rendah dimasyarakat jika tidak memiliki sekolah, tanpa menghiraukan bagaimana cara menempuhnya, padahal Setiap orang memiliki kompetensi yang besar untuk bersekolah, hanya saja kebanyakan dari mereka tidak mampu mengakses pendidikan karena faktor kemiskinan, dan lebih memilh untuk berpenghasilan sendiri walau hanya ala kadarnya, sehingga pilihan itulah yang kembali membawanya pada kemiskinan yang berkelanjutan. Fenomena buta huruf di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 13,2 juta jiwa yang diikuti dengan kemiskinan yang mencapai angka 37, 17 juta penduduk
Kemiskinan saat ini diasumsikan sebagai masalah invidual yang disebabkan karena kemalasan dan kebodohan, sehingga dengan mudah melepaskan tanggung jawab setelah memberikan subsidi yang semakin membawa pada kemalasan dan ketidakmandirian. Suatu keberuntunga bagi mereka yang terlahirkan dalam keluarga yang mampu untuk bersekolah, dengan kemudahan mengakses pendidikan
Amanat konsititusi bahwa negara menjamin pendidikan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan hanyalah hiasan kata-kata yang terlukis dalam kertas UUD 1945, sebab yang menjadi masalah utama pendidikan kita saat ini adalah mahalnya biaya sekolah. Olehnya itu, saat bersekolah, orang yang kaya menjadi miskin dan yang miskin semakin menderita, sebab butuh modal besar untuk membiayai orang yang bersekolah hingga selesai, beberapa orang tua pun menganggap bahwa menyekolahkan anak adalah Investasi hari tua.
Tahun ini pemerintah merencanakan anggaran pendidikan dalam APBN 2010 mencapai Rp 195,6 triliun, anggaran yang besar dibandingkan belakangan tahun terakhir. Suatu tangisan anak bangsa, ketika setiap tahunnya pemerintah menaikan anggaran untuk pendidikan namun setiap tahun pula angka bangsa yang putus sekolah semakin meninggi dan berefek pada pengangguran serta kemiskininan yang semakin melangit.
Pada tingkatan Perguruan Tinggi dan Universitas jarang sekali kita temukan mahasiswa yang benar-benar dari golongan ekonomi yang sangat rendah, rata-rata berada di golongan menengah dan atas, kalaupun ada umumnya mereka harus bekerja sampingan untuk membiayai hidup dan kuliahnya, itupun harus mengorbankan beberapa matakuliah sehingga harapan untuk mendapatkan beasiswa gugur sudah, sebab terkendala pada IPK yang dijadikan syarat adminisitratif.
Belum lagi sejak 2008 lalu, para pejabat tinggi di negri yang kita cintai ini telah sepakat bahwa pemerintah melepas tanggung jawabnya mensuplay anggaran pendidikan pada Universitas Negri (UN) dan memberikan masa transisi empat tahun bagi UN untuk berbenah diri,
Bagaimana nantinya nasib para mahasiswa miskin di tahun 2012? Mungkin benar akan kiamat seperti di ceritakan dalam Film 2012, tapi ini khusus mahasiswa kurang mampu.
Jika bangsa ini ingin maju, pendidikan adalah pondasi awal untuk membangun suatu bangsa menuju kejayaan yang kokoh, karena hanya dengan tingginya sumber daya manusia bangsa ini bisa bersaing dengan bangsa maju lainnya.
Selasa, 12 Mei 2009
Kisah Hidup Penulis
Firman, begitulah nama yang sering di panggilkan pada diriku, “ F I R M A N S A “ Nama Yang tertera di akta kelahiranku yang merupakan nama lengkap saya, lahir di pulau kecil yang berada di kawasan Sulawesi Tenggara (Sultra) pada hari Rabu ,19 Agustus 1989 kira-kira pukul 19.30 Wita. Marobea merupakan nama desa yang berkecamatan Lawa di kabupaten Muna tersebut tempat saya di lahirkan dari pasangan suami istri Lahawa dan Naswati. Saya lahir di tempat yang sama dimana ayah saya besar dan tinggal bersama keluargannya, semantara ibu saya masa kanak-kanaknya dihabiskan di Tanah Tolaki, di tempat ini pula Beliau di lahir dan tinggal sampai bertemu dengan ayah saya yang kebetulan menjadi Pegawai Negri sipil di Dinas Kehutanan Kabupaten Kendari Provinsi Sultra.
Anak bungsu ini dilahirkan di tempat yang berbeda dengan kakak laki-lakinya yang sekaligus saudara tunggal, Fardan, lahir di kabupaten kendari, karena pada waktu itu ayah saya menderita penyakit “lumpu” kemudian mudik untuk mencari obat yang bisa menyebuhkannya dan Alhamdulillah di sana ia dapatkan yang secara kebetulan aku masih berada dalam kandungan dan lahir di pulau jati itu. Setelah ayah sembuh dari penyakitnya, merekapun kembali ke kampung ibu saya dimana ayah saya bertugas dengan kehadiran saya di rumah mereka yang bertempat di Desa Ameroro Kec. Lambuya Kab. Kendari, yang sekarang telah di mekarkan menjadi Kabupaten Konawe. Disinilah saya besar dan tinggal hingga saya menyelesaikan study di SMAN 1 Unaaha Kab. Konawe pada tahun 2007 lalu.
Di kota yang sering disebut Sentral dari kota- kota yang berada pada bagian Timur Indonesia ini, saya tinggal di Jalan Lanraki Asrama Mahasiswa Konawe, yang letaknya di daya. Ketika berada di kampus selain saya menerima kuliah dari dosen, juga aktif sebagai staf Redaksi di Penerbitan Kampus yang di kenal dengan PK. identitas yang bergerak dalam bidang jurnalistik, di situ pula saya belajar banyak mengenai kerja-kerja jurnalistik dalam sebuah media, tidak hanya itu yang saya dapatkan, tapi didalamnya ada hubungan kekeluargaan yang begitu erat terjalin antara krew, magang, maupun alumni.
Menanti Cinta dalam Mimpi
Tikaman angin dingin menyumbat pori kulitku ketika malam
Peraduan yang enggan terlepas membawa lalang pikiranku dalam bunga tidur yang indah
selaksa dunia maya adalah nyata.........
Kerap kali aku terjaga dalam suasana malam yang gelap
menatapi langit-langit dan dinding dengan hiasan pelita redup
Detik dan detik separuh malam, terukir bagai sejarah dalam mimpiku
Hanyalah cinta dalam mimpi yang mampu membebaskanku.
saat para penghuni bumi beranjak ke lain alam
Keresahan dipenantian selalu hadir tatkala mata terpejam
Dan ketika serangga melukis cakrawala dengan anyamanya
ketika itu jua aku terus menanti Cinta pda mimpi selanjutnya
Hanya Mampu Mendengar
Lagi dan lagi terulang ketika terdengar lantunan iramanya
Hinggap Harapan namun runtuh saat kegagalan menghantui
Tak mampu terelakan hingga impian tercapai
Hari demi hari terlewatkan namun tak ada yang terkesan
Bulan dan bulan juga berganti membuat hati semakin meresahkan
Selalu terngiang ucapnya dikala terlintas dalam benak
Namun tak ada sedikit pun kepastian yang terkuak
Dan jika tuturnya terdengar kembali
Serasa hidup penuh dengan dosa yang abadi
Apakah ini akan terus terdengar jika waktunya datang
Ataukah hanya mampu terdengarkan dan kemudian menggaung
Hilang menuju perubahan
Mungkin inilah jalan kesempurnaan