Jumat, 07 September 2012

Makassar Susul Jakarta Jadi Lahapan Si Jago Merah


Setelah berbagai media lokal maupun nasional ramai memberitakan maraknya terjadi kebakaran di beberapa titik di Jakarta, kini giliran Makassar jadi santapan ganasnya si jago merah. Kebakaran yang terjadi pada Selasa malam, 4 September, sekira pukul 23.00 Wita itu, melahap belasan rumah yang ada Jl Dr Ratulangi, Lr I Makassar. Akibat kelalaian ini membuat ratusan warga Ratulangi terpaksa mengungsi.

Titik api berasal dari puntung rokok salah seorang peminum ballo’ yang telah melakukan pesta miras pada malam hari. Dalam keadaan mabuk,  tak sengaja puntung rokoknya dibuang ke rumah yang menjadi agen bensin enceran. Pun warga sekitar yang tengah terlelap tak menyadari jika api tengah menghanguskan rumah-rumah mereka, bersamaan api yang membesar  barulah warga pada bangun dan  panik menyelamatkan keluarga dan barang-barang berharga.

Sebenarnya ganasnya api malam itu sangat mudah dijinakkan, jika saja pemadam kebakaran dapat dengan dekat menyirami titik api. Namun jalur sempit di pemukiman padat penduduk itu menjadi penghambat masuknya mobil pemadam kebakaran sehingga petugas pemadam kebakaran hanya mampu menyemprotkan air dari jarak yang cukup jauh.

Seharunya, pengaturan dan tata kelolah pemukiman yang padat penduduk telah dipikirkan dari jauh hari sebelumnya agar kasus kebakaran dapat ditekan seminim mungkin. Mulai dari Izin IMB, Amdal,  jalur transportasi dll, dan ketika hal serupa terulang petugas pemadam kabakaran dengan mudah menjinakkan si jago merah, pun korbannya tak perlu mengungsi.

Sabtu, 21 Juli 2012

Memilih Pensiun Dini di BI



Memutuskan pensiun dini dari Bank Indonesia tahun 2010, karena merasa banyak mimpi yang belum terwujudkan. Setelah beranjak dari BI, ia pun banyak menulis buku diantarnya novel yang bertajuk ‘bangkir’ dan buku best seller 2012 ‘The Power of Your Dreams’. Kini, bersama lembaga Masdaeng Comunnication, telah memberikan pelatihan hampir semua BPD yang ada di Sulawesi, Maluku dan Papua.   

Selama 28 tahun berlayar bersama BI menempuh gelombang kehidupan, dengan jabatan terakhir Deputi Pemimpin Bank Indonesia Kendari, akhirnya Andi Burhanuddin, lelaki kelahiran Parepare ini memutuskan berlabuh di kediamannya Kompleks IDI Pettarani Makassar.
Banyak pihak yang menyayangkan mengapa anak yang terlahir dari keluarga ABRI ini, memutuskan untuk pensiun dini. Namun ternyata setelah meninggalkan BI  mantan wartawan Sinar Harapan ini produktif berkarya. Ia sibuk menulis. Yang dirindukannya selama masih berkarir di BI adalah aktivitas menulisnya. Ketika di BI inspirasi untuk menulis sangat terbatas, imajinasinya terhalangi dinding dan sekat-sekat gedung.
Di tahun ini saja, buku terbarunya The Power of Your Dreams telah dicetak 3 kali oleh penerbit karena permintaan masyarakat. Buku best seller ini mengandung berjuta motivasi yang memberikan perubahan pribadi pada pembacanya.
“ Saya merasa banyak hal yang bisa dilakukakn, dan terutama bagaimana menumbuh kembangkan motivasi dan menanamkan budaya kerja ke berbagai kalangan, ini tentu sulit jika saya masih tettap berada dalam sistem.” 
Pengglaman kerja selama di BI yang meraih gelar Pegawai Teladan Bank Indonesia, mitra teladan terbaik, Manajer IKU (KPI) dua tahun berturut-turut, hingga gelar Bapak Satpam Bank Indonesia wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua. mengispirasinya mendirikan lembaga budaya kerja dan motivasi serta teknis perbankkan. Dalam berbagai kesempatan bersama lembaga yang bernama Masdaeng Comunnication ini, ia selalu memotivasi dan menginspirasi peserta pelatihan untuk meraih kesuksesan.

Berpikir Kreatif dan Berani Bermimpi

Andi Burhanuddin saat kecil hidup dengan serba pas-pasan, ayahnya yang berpangkat perwira menengah tak sanggup menyekolahkannya ke jenjang lebih tinggi, sehingga ia keluar dari tanah kelahirannya Parepare mengadu nasib ke Samarinda Kalimantan Timur, dengan mimpi tetap bersekolah. Ketika ditanyai bagaimana ia bertahan hidup di negri orang berpikir kreatif dan punya mimpi jawabnya.“ Saya waktu itu sudah menulis cerpen.”
Pun dalam perjalanannya menimbah pengetahuan, ternyata ia punya bakat seni yang terpendam. Bakatnya itulah yang mengantarkannya sampai ke bengkel teater  Jogjakarta. Setelah sekira setahun lebih mengasah bakatnya itu. Pun ia kembali ke Samarindah menyelesaikan studinya sebagai sarjana muda jurusan ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul) dengan aliran beasiswa dari pemerintah karena ketekunannya.
Pada saat berkuliah, ia punya cara khas menyerap materi kuliahnya, ia hanya membawa dua lembar kertas yang kemudian dituliskan poin-poin besar materi perkuliahan, malam harinya ia buatkan resumenya. Jam 11 malam ia sudah ada di pembaringan untuk beristirahat.
“di kampus terima mentahnya dirumah kita olah dan kembangan materinya, hasilnya bukan saja mengerti tapi pemahaman yang luar biasa” jelasnya.
Selama mahasiswa ia sangat popular, ia berhasil mempersatukan mahasiswa dari berbagai fakultas setelah terpilih menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Unmul. Menanggapi gerakan mahasiswa sekarang ia dengan wajah miris berkata “ luar biasa melencengnya,” bagaimana tidak, aksinya dulu sangat terhormat  pada zamannya. Masyarakat ikut bersama dalam gerakan, sepanjang jalan tanpa suara hanya spanduk dan pamphlet yang berbahasa.
“ yang harus dilakukan BEM sekarang menarik simpati masyarakat bersama membentuk aksi yang besar” ungkapnya.

Merajut Mimpi di Kota Palu

Setelah menyandang  gelar sarjana muda di Unmul dan bermasud melanjutkan sarjana penuhnya di Unhas, ia kemudian kembali ke pulau kelahirannya, tapi sayang kedatangannya terlambat. Pasalnya waktu itu perkuliaahan telah berjalan di Unhas. Pendaftaran telah tertutup.  Daripada memilih menggangur ia pun mengejar mimpinya hingga ke Universitas Tadulako (Untad) Palu Sulawesi Tengah.
Ketika berkeliling memutari kota Palu, Diliatnya gedung besar nan megah diantara gedung yang lain, gedung itu adalah kantor Bank Indonesia. Ia pun merajut mimpinya untuk menjadi orang besar di kantor itu. Tidak ada yang tidak bisa kita raih jika itu masuk akal.
“ Saya hanya bilang, saya mau kerja di kota ini, kalau saya kerja di kantor BI Palu”
Belum sebulan berada di Palu ia pun mendirikan lembaga seni anak muda yang bernama Garasai, Gabungan Aransemen Seni dan Inspirasi. Menjadi teaeterawan yang mengumpulkan bintang-bintang sekota. Menggelar pentas keliling Sulawesi Tengah “
“Saya mengumpulkan banyak muda, dari anak gubernur, anak anggota DPR, pun sampai anak-anak fakir miskin yang berjiwa seni saya tarik,”
Disaat yang bersamaan menamatkan studi doktoral di Untad dengan gelar doktorandus dalam bidang ekonomi yang kini disebut sarjana ekonomi, banyak instasi negri dan swasta ingin menariknya untuk bergabung, namun ia hanya punya mimpi di BI. Dalam perjalanannya pun BI membuka lowongan kerja.
“saya pun melamar dan langsung tembus, kemudian disuruh pilih mau kemana, saya pun memilih untuk berkantor di BI Palu” 
Andi berpesan bahwa hendaknya jangan selalu putus di tengah jalan, padahal bukan kesulitan yang membuat kita susah, tapi kesusahan yang membuat kita sulit, maka jangan pernah berhenti untuk mencoba dan jangan pernah mencoba untuk berhenti. Bukan masalah status social, status jabatan, atau orang biasa tanpa gelar apa-apa, yang masalah adalah apabila kita tidak bisa memetik hikmah dari profesi yang diajalani, gagal memaknai hidup dengan segala dinamikanya.

Masalah Sampah Jangan Sebatas Diskusi Doank!!

Diskusi dengan tema “ Sosialisasi Kebijakan Pengelolaan Sampah,” yang diselenggarakan Dinas Pertamanan dan Kebersihan Pemerintah Kota Makassar di Hotel Losari Metro, Rabu hingga Kamis, (4-5/7). Diskusi ini diharapakan masyarakat agar tidak hanya menambah berkas catatan yang menumpuk.

Tujuan disikusi ini begitu sangat ideal, dengan cita-cita yang ingin dicapai adalah bagaimana pengeloaan sampah bernilai positif untuk warga baik dari segi kesehatan ataupun ekonomis. Dalam disikusi ini, ide cemerlang pengelolaan sampah muncul dari Ketua Yayasan Peduli Negri, Saharuddin Ridwan kala menyajikan materi hari itu, bahwa di setiap kecamatan agar membentuk sebuah tim yang akan membantu dinas kebersihan dalam menanggulangi masalah sampah.
Melahirkan konsep baru dalam setiap diskusi itu sudah biasa, namun kebuntuanlah yang kerap kali terjadi ketika cara untuk merealisasikannya banyak menuai kendala di lapangan. Pun bagaimana caranya agar diskusi itu tidak hanya berlalu begitu saja dan konsepnya hanya akan menambah koleksi berkas catatan yang kian hari kian menumpuk di kantor-kantor birokrasi pemerintahan,  mengingat masyarakat semakin harinya semakin resah akan berbagai masalah yang terjadi disebabkan sampah yang tak dikelolah dengan baik.
Misalnya saja, sejak tahun 2008 Pemkot Makassar telah bekerjasama dengan Unilever membuat program yang dijuluki dengan program Green dan Clean. Namun sayangnya setiap kali musim penghujan datang setiap itu pula beberapa jalan di Makassar terendam banjir. Banjir ini disebabkan karena drinase yang berfungsi sebagai saluaran air hujan telah dipenuhi tumpukan sampah.
Kondisi ini terlihat di Jalan Perintis Kemerdekaan tepatnya di depan Kampus STIMIK Dipanegara.  Akibat jalan yang selalu digenangi air hujan ketahanan aspalnya pun semakin cepat rusak hingga menyebab beberapa lubang di tengah jalan. Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama dan terus menerus, lubang ditengah jalan yang kian melebar tiap harinya, ditakutkan akan menyebabkan rawan terjadi kecelakaan lalu lintas.
Selain itu pula kegagalan pemerintah kota Makassar maraih adipura pada tahun ini membuktikan bahwa banyak konsep ataupun format pengeloaan sampah yang selama ini lahir dari forum-forum ilmiah, baik dalam bentuk diskusi workshop ataupun seminar ternyata kurang mampu terimplementasikan dengan baik.
Pemerintah kota Makassar dalam hal ini Dinas Pertamanan dan Kebersihan harusnya lebih gencar melakukan survey di titik mana saja sering terjadi tumpukan sampah, serta melakukan sosialisasi penanganan sampah idealnya. Dengan demikian masalah sampah tidak hanya dibebankan pada petugas kebersihan semata tapi semua pihak telibat dan peduli dengan kebersihan kota.  


Jumat, 20 April 2012

Jadi Mahasiswa Rantau di Kota Berbekal Silat Kampung

Ketika mulai terdengar ayam berkokok mengakhiri keheningan malam, suara yang mengisyaratkan beberapa saat lagi cahaya matahari akan segera bersinar, hingga kemudian ayam itu kembali naik bertengger di dahan pohon bersamaan senja yang hendak berlalu, kehidupan perkotaan dengan penuh hiruk pikuk perilaku dan interaksi sosial tanpa hentinya, ditambah lagi dunia gemerlapnya pada malam hari, mengharuskan diri untuk selalu berhati-hati di setiap langkah.

Kembali teringat wejangan dari ayah saat kecil dulu, bahwa untuk hidup dalam dinamika sosial, dimanapun itu harus punya bekal bertahan hidup yang bermanfaat ketika di ujung tanduk, bekal yang mampu menyelamatkan diri dari usikan orang berniat jahat. Mungkin itulah salah satu alasan mendasar ayah mengajarkan silat kampung yang ceritanya dari mendiang ayahnya juga (almarhum kakek saya). Saat masa kolonialisme Belanda, lanjut cerita ayah, almarhum kakek ikut berjuang merebut kemerdekaan, melawan penjajah dengan menggunakan silat kampung.

Ilmu bela diri yang diwariskan almarhum kakek, digunakan ayah dalam perantauannya hingga merndapatkan pekerjaan dan menikah dengan ibu saya. Seorang Ayah yang sejak lulus SMA meninggalkan kampung halamannya mengadu nasib di perkotaan, tentunya lika-liku kehidupan kota telah banyak dilewatinya. Pengalaman pribadi ayah merupakan pelajaran yang sangat berharga beliau menyebabkan semangatnya mengajarkanku silat kampung tak pernah surut, walaupun tempatnya hanya di rumah.

Tidak berhenti sampai disitu usaha beliau untuk mengajarkan saya ilmu bela diri, ketika terbuka Perguruan Silat Kampung, beliau langsung mendaftarkan sebagai anggota untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) karena waktu itu saya masih SD. Meskipun pada saat itu saya menolak untuk masuk dengan alasan lebih baik belajar di rumah saja, karna malu nanti diejekin oleh teman sekolah, namun sebagai seorang ayah beliau merasa anak laki-lakinya harus punya ilmu bela diri, dengan meyakinkanku bahwa kelak ketika lulus SMA saya akan melanjutkan kuliah dan itu di luar daerah, dengan alasan itulah hingga akhirnya saya luluh juga saat itu untuk masuk Perguruan Silat Kampung.

Setelah beberapa bulan ikut dalam Perguruan Silat Kampung itu, tentunya banyak jurus-jurus baru yang diajarkan, geraknya yang lincah dan gesit namun juga terlihat agak lucu menjadikan suasana latihan menjadi semakin seru. Yang membuat semua orang terbahak-bahak saat itu, ketiak sang guru sering mempraktekan jurus baru dengan memegang piring sehingga sang guru terilhat seperti penari piring. Tapi gerakan sang guru begitu cepat sehingga piring yang berada di tangganya, yang disusun berlapis-lapis tidak terlempar jatuh walaupun tangannya digerak-gerakan.

Perguruan Silat Kampung ini banyak mengajarkanku tentang kehidupan diantaranya adalah sifat sabar, sabar mengendalikan sifat emosional agar tidak mudah marah pada orang lain. Di perguruan waktu itu, setiap anggota saling menunjukan kehebatannya dalam latihan duel. Yang kalah akan mendapat ejekan dari teman-teman dan mendapatkan hukuman membersikan juga mencuci piring. Namun hukuman tersebut membangun semangat untuk lebih baik lagi kedepannya.

Perguruan Silat Kampung ini tidak mengajarkan seseorang untuk jago dalam hal perkelahian, namun bertujuan menghidupkan kembali budaya yang telah diwariskan oleh leluhur kami. Budaya yang telah lama ditinggalkan semenjak pasca kemerdekaan. Antusias warga saat itupun sangat mendukung dilestarikannya kebiasaan yang dulu dimiliki nenek moyang kami, dengan mengikutsertakan salah seorang anggota keluarganya dalam silat kampung ini.

Hingga pada saat perayaan 17-san (HUT RI) yang diadakan kepala desa, perguruan kami pun di ikutkan untuk meramaikan pangung acara. Berlaga di atas panggung yang ditonton banyak warga desa merupakan hal yang langkah terjadi, olehnya itu kesalahan-kesalahan diminimalisir dengan latihan rutin menjelang hari H acara. Untuk pertama kalinya tampil di depan umum disaksikan ratusan pasang mata, menjadikan momen itu sebagai pengalaman dan pembelajaran dalam melatih mental yang sangat bermanfaat mencegah penyakit demam panggung sampai sekarang ini.

Bekal silat kampung yang didapatkan saat kecil kecil dulu, kini banyak membantu dalam menjalani peran sebagai seorang mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Kota Makassar. Terlatihnya mental dan sikap percaya diri walaupun mendaptkan ejekan membuat diri untuk tidak takut salah dalam keadaan apapun. Dalam kelas perkuliahan misalnya, untuk berani mengajukan argumentasi pada dosen dan teman harus didukung dengan mental dan sikap percaya diri, agar apa yang disampaikan mampu dipahami oleh orang lain.

Diluar perkuliahan, masuk di komuntas dan organisasi kemahasiswaan tertentu menjadi aktivitas yang menyenangkan, wadah yang melatih kecerdasan emosianal ini sedikit banyaknya mirip dengan yang ada di perguruan. Melalui banyak komunikasi dan interaksi pada teman seperguruan yang berbeda karakter menjadikan diri mampu memahami orang lain. Sehingga dalam berorganisasi masalah-masalah yang kemudian muncul, yang dapat berujung pada kontak fisik, mampu terselesaikan dengan damai.

Sebagai mahasiswa rantau yang jauh dari orang tua dan keluarga, hidup dalam kemandirian jika tidak memperbanyak teman akan terasa semakin menyulitkan, aktivitas perkotaan yang hari demi hari dihabiskan dengan kerja membuat seseorang menjadi individualis, kurang peduli dengan apa yang terjadidi lingkungan sekitarnya sendiri. Padahal hidup sebagai makhluk sosial memperbanyak relasi merupakan salah satu jalan mencapai sukses.

Sementara saat di perguruan dulu sang guru selalu mengatakan untuk selalu peduli pada teman duel dalam latihan, pukulan dan tendangan tidak boleh berlebihan hanya karena egois memenangkan pertandingan. Sang guru pun berpesan jika nanti diluar latihan terlibat duel sungguhan, maka sebisa mungkin mengetahui mana lawan mana kawan kemudian mengubah lawanmu itu menjadi kawanmu.

Ketika menjadi mahasiswa di kota Makassar bertemu dengan wajah dan karakter yang berasal dari berbagai daerah, sifat sabar yang diajarkan pada Perguruan Silat Kampung dulu tergunakan pada koridor pergaulan yang damai. Jika tidak memiliki sifat sabar status mahasiswa yang semestinya berfungsi memperjuangkan hak-hak rakyat, bisa jadih akan berganti dengan julukan ‘preman kampus’ dengan aktivitas banyak merugikan orang lain.

Peran seorang mahasiswa sebagai control sosial yang menyampaikan aspirasi melalui aksi unjuk rasa sangat sering berakhir dengan bentrok. Korban mahasiswa karena aksi demonstrasi telah banyak tertulis dalam sejarah pergerakan mahasiswa, diantaranya tragedi Trisakti. Peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka.

Dalam situasi ini mahasiswa yang awalnya benar-benar ingin mengawal kebijakan Negara melalui parlemen jalanan banyak menjadi korban, beruntunglah mahasiswa yang mempunyai bekal ilmu bela diri, bekal yang dapat digunakan agar tidak menjadi korban kekerasan dilapangan.

Benar kata ayah dulu bahwa kehidupan kota itu penuh dengan tantangan yang berlika-liku. Ketika di pagi hari seseorang menjadi orang baik, dan di sore harinya tak ada yang menjamin seseorang itu masih tetap menjadi orang yang baik pula.