Jumat, 20 April 2012

Jadi Mahasiswa Rantau di Kota Berbekal Silat Kampung

Ketika mulai terdengar ayam berkokok mengakhiri keheningan malam, suara yang mengisyaratkan beberapa saat lagi cahaya matahari akan segera bersinar, hingga kemudian ayam itu kembali naik bertengger di dahan pohon bersamaan senja yang hendak berlalu, kehidupan perkotaan dengan penuh hiruk pikuk perilaku dan interaksi sosial tanpa hentinya, ditambah lagi dunia gemerlapnya pada malam hari, mengharuskan diri untuk selalu berhati-hati di setiap langkah.

Kembali teringat wejangan dari ayah saat kecil dulu, bahwa untuk hidup dalam dinamika sosial, dimanapun itu harus punya bekal bertahan hidup yang bermanfaat ketika di ujung tanduk, bekal yang mampu menyelamatkan diri dari usikan orang berniat jahat. Mungkin itulah salah satu alasan mendasar ayah mengajarkan silat kampung yang ceritanya dari mendiang ayahnya juga (almarhum kakek saya). Saat masa kolonialisme Belanda, lanjut cerita ayah, almarhum kakek ikut berjuang merebut kemerdekaan, melawan penjajah dengan menggunakan silat kampung.

Ilmu bela diri yang diwariskan almarhum kakek, digunakan ayah dalam perantauannya hingga merndapatkan pekerjaan dan menikah dengan ibu saya. Seorang Ayah yang sejak lulus SMA meninggalkan kampung halamannya mengadu nasib di perkotaan, tentunya lika-liku kehidupan kota telah banyak dilewatinya. Pengalaman pribadi ayah merupakan pelajaran yang sangat berharga beliau menyebabkan semangatnya mengajarkanku silat kampung tak pernah surut, walaupun tempatnya hanya di rumah.

Tidak berhenti sampai disitu usaha beliau untuk mengajarkan saya ilmu bela diri, ketika terbuka Perguruan Silat Kampung, beliau langsung mendaftarkan sebagai anggota untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) karena waktu itu saya masih SD. Meskipun pada saat itu saya menolak untuk masuk dengan alasan lebih baik belajar di rumah saja, karna malu nanti diejekin oleh teman sekolah, namun sebagai seorang ayah beliau merasa anak laki-lakinya harus punya ilmu bela diri, dengan meyakinkanku bahwa kelak ketika lulus SMA saya akan melanjutkan kuliah dan itu di luar daerah, dengan alasan itulah hingga akhirnya saya luluh juga saat itu untuk masuk Perguruan Silat Kampung.

Setelah beberapa bulan ikut dalam Perguruan Silat Kampung itu, tentunya banyak jurus-jurus baru yang diajarkan, geraknya yang lincah dan gesit namun juga terlihat agak lucu menjadikan suasana latihan menjadi semakin seru. Yang membuat semua orang terbahak-bahak saat itu, ketiak sang guru sering mempraktekan jurus baru dengan memegang piring sehingga sang guru terilhat seperti penari piring. Tapi gerakan sang guru begitu cepat sehingga piring yang berada di tangganya, yang disusun berlapis-lapis tidak terlempar jatuh walaupun tangannya digerak-gerakan.

Perguruan Silat Kampung ini banyak mengajarkanku tentang kehidupan diantaranya adalah sifat sabar, sabar mengendalikan sifat emosional agar tidak mudah marah pada orang lain. Di perguruan waktu itu, setiap anggota saling menunjukan kehebatannya dalam latihan duel. Yang kalah akan mendapat ejekan dari teman-teman dan mendapatkan hukuman membersikan juga mencuci piring. Namun hukuman tersebut membangun semangat untuk lebih baik lagi kedepannya.

Perguruan Silat Kampung ini tidak mengajarkan seseorang untuk jago dalam hal perkelahian, namun bertujuan menghidupkan kembali budaya yang telah diwariskan oleh leluhur kami. Budaya yang telah lama ditinggalkan semenjak pasca kemerdekaan. Antusias warga saat itupun sangat mendukung dilestarikannya kebiasaan yang dulu dimiliki nenek moyang kami, dengan mengikutsertakan salah seorang anggota keluarganya dalam silat kampung ini.

Hingga pada saat perayaan 17-san (HUT RI) yang diadakan kepala desa, perguruan kami pun di ikutkan untuk meramaikan pangung acara. Berlaga di atas panggung yang ditonton banyak warga desa merupakan hal yang langkah terjadi, olehnya itu kesalahan-kesalahan diminimalisir dengan latihan rutin menjelang hari H acara. Untuk pertama kalinya tampil di depan umum disaksikan ratusan pasang mata, menjadikan momen itu sebagai pengalaman dan pembelajaran dalam melatih mental yang sangat bermanfaat mencegah penyakit demam panggung sampai sekarang ini.

Bekal silat kampung yang didapatkan saat kecil kecil dulu, kini banyak membantu dalam menjalani peran sebagai seorang mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Kota Makassar. Terlatihnya mental dan sikap percaya diri walaupun mendaptkan ejekan membuat diri untuk tidak takut salah dalam keadaan apapun. Dalam kelas perkuliahan misalnya, untuk berani mengajukan argumentasi pada dosen dan teman harus didukung dengan mental dan sikap percaya diri, agar apa yang disampaikan mampu dipahami oleh orang lain.

Diluar perkuliahan, masuk di komuntas dan organisasi kemahasiswaan tertentu menjadi aktivitas yang menyenangkan, wadah yang melatih kecerdasan emosianal ini sedikit banyaknya mirip dengan yang ada di perguruan. Melalui banyak komunikasi dan interaksi pada teman seperguruan yang berbeda karakter menjadikan diri mampu memahami orang lain. Sehingga dalam berorganisasi masalah-masalah yang kemudian muncul, yang dapat berujung pada kontak fisik, mampu terselesaikan dengan damai.

Sebagai mahasiswa rantau yang jauh dari orang tua dan keluarga, hidup dalam kemandirian jika tidak memperbanyak teman akan terasa semakin menyulitkan, aktivitas perkotaan yang hari demi hari dihabiskan dengan kerja membuat seseorang menjadi individualis, kurang peduli dengan apa yang terjadidi lingkungan sekitarnya sendiri. Padahal hidup sebagai makhluk sosial memperbanyak relasi merupakan salah satu jalan mencapai sukses.

Sementara saat di perguruan dulu sang guru selalu mengatakan untuk selalu peduli pada teman duel dalam latihan, pukulan dan tendangan tidak boleh berlebihan hanya karena egois memenangkan pertandingan. Sang guru pun berpesan jika nanti diluar latihan terlibat duel sungguhan, maka sebisa mungkin mengetahui mana lawan mana kawan kemudian mengubah lawanmu itu menjadi kawanmu.

Ketika menjadi mahasiswa di kota Makassar bertemu dengan wajah dan karakter yang berasal dari berbagai daerah, sifat sabar yang diajarkan pada Perguruan Silat Kampung dulu tergunakan pada koridor pergaulan yang damai. Jika tidak memiliki sifat sabar status mahasiswa yang semestinya berfungsi memperjuangkan hak-hak rakyat, bisa jadih akan berganti dengan julukan ‘preman kampus’ dengan aktivitas banyak merugikan orang lain.

Peran seorang mahasiswa sebagai control sosial yang menyampaikan aspirasi melalui aksi unjuk rasa sangat sering berakhir dengan bentrok. Korban mahasiswa karena aksi demonstrasi telah banyak tertulis dalam sejarah pergerakan mahasiswa, diantaranya tragedi Trisakti. Peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka.

Dalam situasi ini mahasiswa yang awalnya benar-benar ingin mengawal kebijakan Negara melalui parlemen jalanan banyak menjadi korban, beruntunglah mahasiswa yang mempunyai bekal ilmu bela diri, bekal yang dapat digunakan agar tidak menjadi korban kekerasan dilapangan.

Benar kata ayah dulu bahwa kehidupan kota itu penuh dengan tantangan yang berlika-liku. Ketika di pagi hari seseorang menjadi orang baik, dan di sore harinya tak ada yang menjamin seseorang itu masih tetap menjadi orang yang baik pula.